"Integrasi nilai-nilai Islam, Budaya, dan Kebangsaan"
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia
Dosen Pengampu :
Teguh Setiabudi, MH
Oleh :
Alif Nur Aini 11320115
JURusan BAHASA DAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS HUMANIORA UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 20 13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, semoga shalawat dan salam juga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis laporan ini bertujuan untuk menggali informasi lebih jauh mengenai tradisi nusantara yang lebih spesifik akan membahas tentang integrasi nilai Islam budaya dan kebangsaan di Indonesia. Sekaligus guna memenuhi salah satu tugas akhir matakuliah Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia.
Laporan ini ditulis dari hasil penyusunan data-data dan informasi-informasi yang diperoleh dari nara sumber pada kuliah umum dan beberapa informasi yang diperoleh penulis melalui media massa elektronik, yang kemudian disusun kembali menurut kebutuhan akan informasi yang diinginkan. Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Masayarakat dan Kebudayaan Indonesia, bapak Teguh Setiabudi,MH atas bimbingan dan Arahan dalam penyusunan laporan ini. Dan juga Pihak Keraton yang telah berkenan mengizinkan acara studi banding atau kuliah umum di Keraton. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat menyelesaikan laporan ini. Karena kerja atas sama yang baik pula penyusun dapat mengerjakan laporan ini dengan lancar.
Kuliah umum ini dilaksanakan pada tanggal 07 Oktober 2013 di Keraton Surakarta, Solo - Jawa tengah. Penyusun berharap, melalui laporan ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. “Tak ada gading yang tak retak, tak ada yang sempurna didunia ini” begitu juga dengan laporan ini tentu masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................. ................................................. ................. saya
Daftar Isi ................................................. ................................................. ........................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ................................................ ................................................. ............
1
1.2
Batasan Pembahasan ................................................ ................................................. ...
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Sejarah keraton kasunanan surakarta .................................................. ................................ 2
2.2 Rumah Tangga keraton Kasunanan Hadiningrat ........................................ ............ 2
2.2.1 Gusti pangeran Haryo (GPH) Puger ........................................ ........................
4
2.3 Kepercayaan dan Budaya ............................................ ...................................................
4
2.3.1 Tradisi Grebeg Maulud ............................................ ........................................
5
2.3.2 Kirab Mubeng Benteng utawa satu suro .................................. ...............
6
2.3.3 Pusaka dan tari-tarian .................................. ................................
6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
................................................. ................................................. ................ 8
referensi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku bangsa Jawa adalah suku bangsa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh daerah jawa tengah, jawa timur dan sebagian jawa barat mereka menggunakan bahasa jawa secara keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu. Suku bangsa jawa termasuk suku bangsa yang telah memajukan kebudayaannya, karena sejak zaman dahulu mereka telah banyak mendapat pengaruh dari berbagai kebudayaan, seperti : Kebudayaan Hindu, Budha, Islam dan Eropa. Selain itu, Suku Jawa juga memiliki kebudayaan yang beragam, mulai dari kesenian, adat istiadat dan juga sistem mata pencaharian.
Dewasa ini, kebudayaan
asli Jawa sudah mulai banyak dilupakan,bahkan oleh penduduk Jawa sendiri.
Mempelajari kembali masyarakat dan kebudayaan Jawa menjadi perlu untuk menghindari
hilangnya kebudayaan asal jawa yang istimewa ini. Keberagaman
kebudayaan tersebut terjadi tidak lain karena adanya jenis suku yang berbeda
yang ada pada setiap wilayah dan daerah di Indonesia sendiri. Hal tersebut
menjadi suatu kebiasaan dan tradisi yang ada dan turun-menurun sejak zaman
nenek moyang dahulu. Sehingga, menjadi suatu kewajiban bagi para generadasi mu
untuk mengemban amanah guna menjaga dan melestarikan budaya-budaya tersebut
sebagai bekal bersaing di masa depan. Selain itu, hal tersebut juga dapat
memberikan kesempatan lebih kepada para generasi muda untuk mengenal lebih
dalam tentang budaya-budaya yang
dimiliknya serta melihat secara langsung keindahan,
keunikkan dan keaslian dari kebudayaan tersebut.
1.2 Batasan Pembahasan
Adapun
pembahasan-pembahasan dalam makalah ini, penulis batasi sebagai berikut:
1.2.1. Sejarah
1.2.2. Rumah Tangga
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
1.2.3 Kepercayaan
dan Budaya
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Keraton Surakarta yang lebih sering
disebut Karaton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta.
Keraton ini telah didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura
yang telah porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan
di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai)
Beton/Sala. Nama desa itu diubah menjadi Surakarta
Hadiningrat, setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun. Istana ini pula menjadi
saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sunan dan
rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini.
Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Solo. Sebagian
kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik
kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka
keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu
contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik. Sebagai contohnya,
ketika mengelilingi Keraton banyak ditemukan patung kecil bernuansa Eropa.
2.2 Rumah
Tangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah keluarga besar yang
tentu saja memiliki tata cara dan sistem yang terstruktur secara khusus untuk
mengatur rmaha tangga yang ada di dalamnya. Keluarga inti dari rumah Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh raja, atau Sri Susuhunan Pakubuwono,
bertindak selaku kepala keluarga. Sebagai pendamping kepala rumah tangga adlah
para istri raja yang meliputi permaisuri dan para istri selir, kendati
terkadang ada pula raja yang tidak mengangkat salah satu istriya menjadi
permaisuri, begitupula istri-istri lainnya juga tidak berstatus sebagai selir.
Selanjutnya adalah putra dan putri raja, yang bisa berjumlah puluhan orang,
dari semua istri raja menjadi anggota dari keluarga inti rumah tangga kerajaan.
Ditinjau dari garis koordinasi yang mengurusi tata kelola rumah
tangga di kasunanan Surakarta Hadiningrat, terdapat sejumlah jabatan, yang
dilantik dan berada di bawah kedudukan Sri Susuhunan Pakubuwono, denga
mengemban tugas dan tanggung jawab untuk mengkoordinir serta mengatur jalannya
pengelolaan rumah tangga di lingkungan istana. Yang bertanggung jawab atas tata
kelola rumah tangganya diantaranya: Santana Dalem, Pepatih Dalem, dan ABDI
Dalem. Santana Dalem adalah orang yang memiliki hubungan dengan raja dan
keturunannya; para istri, anak-anak, cucu, cicit, canggah, dan wareng. Setelah
wareng, ada udeg-udeg, gantung, siwur, dan seterusnya tidak dimasukkan ke dalam
Santana Dalem, melainkan masuk ke dalam golongan rakyat biasa atau Kawula
Dalem. Dan Kerabat serta pasangan masing-masing , masuk dalam Santana Dalem.
Sentana Dalem merupakan bangsawan tinggi kerajaan.
Pepatih Dalem merupakan jabatn yang berfungsi sebagai wakil
Susuhunan di dalam bidang pemerintahan. Posisi Pepatih Dalem dapat disetarakan
dengan posisi Perdana Menteri dengan posisi Perdana Menteri karena beertanggung
Jawab atas berjalannya roda pemerintahan kerajaan. Oleh kolonial belanda
Pepatih Dalem disebut Rijkbestuuder yang memerintah negara atau mangreh nagari.
Pepatih Dalem berwenang untuk membuat undang-undang yang pelaksanaannya
dilakukan dengan bantuan para pegawai Istana.
Nama kecil Sri Susuhan Pakubuwona XII adalah Raden Mas
Suryaguritna, Putra Sri Susuhunan Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri
Raden Ayu Kuspariyah pada tanggal 14 April 1925. Pada tanggal 20 Juli 1939,
Raden Mas Suryaguritna memperoleh gelar kebangsawanan sebagai Raden Mas Gusti
ketika ayahandanya naik tahta sebagai Sri Susuhunan Pakubuwana XI. Saat Sri
Susuhunan Pakubuwana XI meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 1945, Raden Mas Gusti
Surya Guritna dinobatkan sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta Hadiningrat
dengan gelar Pangeran Adipati Aryo Hamengkunegoro Sudibyo Rajaputro Narendra
Mataram. Selanjutnya, pada tanggal 11 Juni 1945, Raden Mas Gusti Suryo Guritno
naik tahta sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan berhak menyandang
gelar Sri Susuhunan Pakubuwana XII.
Sri Susuhunan Pakubuwana XII memiliki 6 orang istri. Kesemua istri
tersebut tidak ada yang dipilih sebagai permaisuri sehingga status keenam istri
Sri Susuhunan Pakunuwana XII adalah setara antara satu dengan yang lainnya.
Istri-istri Sri Susuhunan Pakubuwono XII tersebut adalah Kanjeng Ratu Ayu
Pradapaningrum dan telah dianugerahi 10 orang anak, Kanjeng Ratu Ayu
Madyaningrum (dianugerahi 4 anak), Kanjeng Ratu Ayu Rogaswara (dianugerahi 3
anak), Kanjeng Ratu Ayu Kusumaningrum (dianugerahi 1 anak), Gusti Raden Ayu
Pujaningrum (dianugerahi 11 anak), dan Gusti Raden Ayu Retnoningrum
(dianugerahi 6 anak). Dari keenam istri tersebut, Sri Susuhunan Pakubuwana XII
dikaruniai 35 orang anak (15 orang putra dan 20 orang putri). Yang mana salah
satunya adalah Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger.
2.2.1
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger
Pada kuliah umum yang dilaksanakan di keraton
kasunanan Surakarta. Pangeran Gusti Raden Mas Suryo Bandono/Gusti Pangeran
Haryo merupakan pemateri pada acara tersebut. Beliau menjelaskan mengenai
runtutan pergantian nama dan filosofinya. Menurut beliau, Gusti berarti bagus
ning ati. Gusti bukan hanya untuk disandangkan kepada laki-laki namun juga untuk
perempuan. Akantetapi dengan syarat perempuan tersebut memiliki sifat yang
lebih baik begitu juga akhlaknya. Kemudian, Mas itu memiliki arti benda logam
mulya, kita dimulyakan, dan orang yang mulia. Selanjutnya, Surya dan Bandono,
Surya berarti matahari dan Bandono berarti pengikat. Nama kedua beliau, Gusti Pangeran
Haryo Puger dan nama ketiga beliau adalah Kanjeng Gusti Haryo Puger. Nama
tersebut, diberikan berdasarkan urutan ketika beliau kecil, dewasa, dan tua.
2.3 Kepercayaan dan Budaya
Seperti
yang telah disampaikan oleh pangeran Gusti Pangeran Haryo Puger bahwa pada
zaman dahulu, di Indonesia banyak suku yang mempunyai kepercayaan animisme dan
dinamisme. Sebelum Indonesia dimasuki bangsa India, Mongol, dan Spanyol, di
Indonesia ada suku jawa, suku asmat, suku baduy dll. Setiap suku memiliki
kepala suku. Akan tetapi, setelah India masuk, ketua atau kepala suku Jawa
menjadi bangsa Jawa. Ketika Hindu telah tersebar di Jawa, kepercayaan animisme
dan dinamisme telah ditinggalkan.
Aturan dari keraton yang disebutkan oleh
Pangeran Suryo adalah Merubah system animisme dan dinamisme. Apalagi, ketika agama
budha mempengaruhi wilayah Indonesia yang dianggap “menyederhanakan” atau
“praktis”. Kemudian, Pengaruh Islam di Jawa diizinkan oleh Kerajaan Majapahit. Dpat
dilihat dari “Adipati” yang berubah menjadi “Sultan” yang berarti “sorotan”
dalam bahasa Jawa.
Keraton Surakarta memiliki suatu
warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat,
tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah
upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro.
Hingga sekarang, acara adat dan budaya ini masih rutin
diselanggarakan setip tahun di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada saat kami melakukan kuliah umum
di Kasunanan Surakarta Hadiningrat kebetulan satu minggu sebelumnya telah diadakan acara kirab dan sayangnya kedatangan kami
tidak bertepatan pada acara tersebut.
2.3.1
Tradisi Grebeg Maulud
Upacara Grebeg merupakan salah satu upacara yang
diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun menurut kalender/penanggalan Jawa
yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu
bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar
(bulan kedua belas). Gagasan adanya
perayaan Gerebeg Mulud atau sekaten untuk pertama kalinya tercetus pada era
Kesultanan Demak saat dipimpin oleh Raden Patah (1478-1518). Istilah Sekaten
sendiri bermula dari kata Syahadatain atau “Dua Kalimat Syahadat” , sebagai tanda
ikrar seorang muslim. Pada
hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur
kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini disebut dengan Hajad Dalem,
berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan
estri (lelaki dan perempuan).
Tahap awal pelaksanaan acara adat ini dimulai pada tanggal 5 rabiul
awal. Selama sebulan sebelumnya, terlebih dahulu diadakan acara keramaian di
Alun-alaun Istana. Dalam acara pesta rakyat itu biasanya ditampilkan pasar malam,
pentas seni, pameran, dan hiburan rakyat lainnya. Seminggu menjelang puncak
acara (hari maulud Nabi), dua perangkat dikeluarkan dari dalam kompleks keraton
dan ditempatkan di Masjid Agung Surakarta. Dua Gamelan itu bernama Kyai Guntur
Madu dan Kyai Guntur Sari. Gamelan Kyai Guntur Madu diletakkan di pendapa
sebelah selatan Masjid Agung Surakarta. Gamelan yang merupakan warisan dari Sri
Susuhunan Pakubuwono IV (1823-1830), dibuat pada tahun 1718 Saka (tahun dalam
penanggalan Jawa).
Ini
merupakan perlambangan dari Syahadat Tauhid. Sedangkan gamelan Kyai
Guntur Sari ditempatkan di pendapa sebelah utara Masjid Agung Surakarta dan
merupakan simbol dari Syahadat Rasul. Kyai Guntur Sari adalah gamelan
peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo (1613-1645) yang dibuat pada tahun 1566
Saka. Pada acara tersebut terdapat beberapa gunungan diantaranya Gunungan kakung. Gunungan ini berbentuk seperti
kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar
gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang
dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan
kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan
estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga.
Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras
ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera
Indonesia kecil di sebelah atasnya.(Wikipedia) Saat ini selain upacara tradisi
seperti itu, juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan
sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
2.3.2
Kirab Mubeng Beteng utawa Malam Satu
Suro
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan
tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari
pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya
matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton
Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan
Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan
utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton
dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman
Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan
diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para
pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan
ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai
Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
2.3.3
Pusaka (heirloom) dan tari-tarian
sakral
Tarian Sakral Bedhoyo Ketawang, Keraton Surakarta memiliki
sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana raja, perangkat
musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai
Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada
saat upacara Sekaten. Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki
tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai
contoh tarian sakral adalah Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat
pemahkotaan raja.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia terdapat beberapa
keratin diantaranya Keraton Surakarta pada keratin ini kita dapat mengetahui
bahwa Indonesia memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya
adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara
adat yang terkenal adalah upacara Garebeg,maulud, Sekaten, dan Malam
Satu Suro. Hingga
sekarang, acara adat dan budaya ini masih rutin diselanggarakan setip tahun di
Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Selain itu di Indonesia pada zaman dahulu banyak suku yang mempunyai kepercayaan
animisme dan dinamisme. Sebelum Indonesia dimasuki bangsa India, Mongol, dan
Spanyol, di Indonesia ada suku jawa, suku asmat, suku baduy dll. Setiap suku
memiliki kepala suku. Akan tetapi, setelah India masuk, ketua atau kepala suku
Jawa menjadi bangsa Jawa. Ketika Hindu telah tersebar di Jawa, kepercayaan
animisme dan dinamisme telah ditinggalkan. Setelah itu masuklah agama hindu
budha di Indonesia. pengaruh dari agama hindhu budha sendiri banyak
mempengaruhi budaya Indonesia. Tujuan
dari kuliah umum “Integrasi nilai-nilai Islam, Budaya, dan
Kebangsaan” yang di laksanakan di keraton kasunanan surakarta semoga dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas lagi mengenai kebudayaan jawa. Apalagi budaya dan seni jawa sangat banyak sehingga perlu dijaga kelestariannya. Dalam kuliah umum yang diisi langsung oleh Gusti Pangeran Haryo yang mana merupakan keturunan kesultanan Keraton Kasunanan Surakarta semoga dapat memberiklan banyak manfaat.