RSS

Dajjal Jakarta



DAJJAL
Cerpen: Beni Setia
"Jemur bantal, guling dan kasur. Setidaknya seminggu sekali gantilah seprei dan sarung bantal-gulingmu." "Agar tak ada Dajjal, Yah?" "Agar Dajjal mengerut dan terbakar jadi abu. Agar abunya terbang di panas siang dan tidak buru-buru bersarang di dalam tanah pekarangan.Tepuk-tepuk bantal dan guling agar bulu-bulu halus Dajjal beterbangan dan tidak bersarang di bantal dan guling––sehingga kamu batuk-batuk."
"Apa Dajjal pocong itu, Yah?" "Bukan. Pocong adalah orang mati yang tak ikhlas menerima kematiannya. Ia mempertahankan tubuhnya, percaya bahwa satu saat tubuhnya akan hangat lagi, lalu bisa bangun dan pulih seperti biasa. Ia menekur, berjaga di sisi tubuh yang dikafani dan dikubur dengan berbantal gumpal tanah di rongga lahad.
Dan Dajjal, setelah tiga bulan penguburan, terkadang muncul dari balik bantal tanah untuk menggerayangi hidung dan menyelinap ke rongga dada. Dajjal selalu rindu lubang hidung, atau kuping, karena tidak punya kaki,tangan,badan, kepala dan mata. Ia ingin jadi manusia, segala hewan dan tanaman yang bisa muncul di permukaan tanah tanpa mati dibakar sinar matahari."
***
Dajjal itu monster, jejadian, siluman. Induk dari segala Dajjal berada jauh di dasar Bumi,berupa batang kelam seperti tanaman parasit berujud akar––seperti bunga bangkai––, yang terpendam lama sebelum memunculkan kuncup bunga dan kemudian mekar jadi bunga raksasa beraroma busuk pemancing serangga.Nun.
Tapi Dajjal tidak memunculkan kuncup bunga. Ia melepas ruas batangnya,seperti cara pembiakan cacing pita, yang terapung dan bersarang di bawah bantal yang lembap berbau. Bertahan sampai dua tahun––bila tak dijemur di panas matahari. Diam-diam mengincar isi rongga dada lewat lubang hidung, lubang kuping dan mulut orang tidur, yang tak pernah menjemur bantal, guling, dan kasur.
Mencengkeram dan tumbuh sebagai Dajjal sempurna di paru-paru, lambung, dan jantung. Pada mulanya Dajjal hanya serabut transparan berbulu, yang gampang rontok dan bila terhirup menyebabkan kita batuk-batuk di waktu tidur. Setelah sempurna, ia jadi sulur-sulur hitam dengan kepala yang berupa setangkup cocor bebek yang akan menggerogoti tulang rawan hidung dan kuping, atau menyedot cairan isi mata dan kepala sehingga setiap manusia seperti tidak punya hidung, kuping, mata, dan otak.
Mengendalikan manusia seperti dalang mengendalikan boneka marionette dengan tali atau wayang dengan batang bambu kecil. Mendominasi sehingga tubuh itu hanya alat untuk memuaskan keinginan Dajjal, sampai manusia bersangkutan kurus, kering dan garing seperti ranting, mati dan mayatnya dikuburkan.
Pada tahap ini ia bisa bertahan seratus tahun, sambil setiap lima tahun melepas ruas tubuhnya menjadi serabut-serabut Dajjal,yang bila dalam dua tahun tidak terbakar matahari bisa mencapai rongga dada manusia akan mencapai tahap dewasa––dengan mengendalikan dan menyedot daya hidup inang.
Lantas, dikuburkan untuk bisa berkembang biak dengan menerbangkan serabut transparan–– meniru Dajjal purba yang ada di dasar Bumi. Nun.Tapi apa Dajjal itu? Di abad apa ia mulai tumbuh? Apa kreasi liar yang terbentuk di masa purbani dan gagal disisihkan seleksi alam karena memiliki daya tahan sebanding dengan agresivitas destruktif? Atau ia makhluk vegetatif penyusup dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya asing?
***
Dalam cerita wayang, dalam komik Ramayana, Rahwana adalah makhluk raksasa yang lahir dari seorang putri ambisius yang kepingin menguasai ilmu kesempurnaan hidup milik dewa, dengan seorang lelaki petapa yang telah menguasai ilmu ke-sempurnaan dan tergoda kemolekan si putri ketika dia mencoba mengajarkan ilmu itu atas permintaan anak lelakinya yang menaksir si putri.
Mungkin karena mereka mengurung diri dalam kamar, terperangkap pada fakta ketubuhan di ruang tertutup, dan berselingkuh sehingga lahirlah anak-anak yang ada di antara gradasi nafsu dan keutamaan,Rahwana dan Wibisana.Dalam epos Ramayana itu diceritakan Rahwana mencuri Dewi Sinta, istri Betara Rama dengan tipu daya, dan tak mau mengembalikannya ketika diminta secara baikbaik.
Maka pecahlah perang besar, yang ditutup dengan kekalahan Rahwana. Tapi Rahwana tak pernah mati––ia memiliki aji Pancasona yang menyebabkan tubuh dihuni nyawa lagi begitu menyentuh tanah setiap kali terbunuh.Karena itu, ia dikejar-kejar panah sakti yang dilepaskan Rama, berusaha [tunggang- langgang] untuk bersembunyi di sembarang tempat.
Gagal dan karenanya ia menyusup ke dalam tanah dan akhirnya terjepit oleh kerak bumi yang saling bergesekan sebagai lempeng landas benua––terjepit dan terdorong ke kawah magma gunung kembar. Tidak bisa bergerak karena terjepit, tak mau bergerak karena diincar panah sakti, dan karenanya ia hanya mengorok dan menggelokgok melepas aneka rupa angan-angan, nafsu––seperti bocah kampung meniup busa sabun dari mangkuk air sabun.
Tetapi, tentu saja, tanpa tawa dan canda. Dipenuhi oleh kemarahan dan dendam ia meniupkan hipnotis dan sugesti kepada orang-orang hidup yang bebas gentayangan di muka Bumi–– agar angkara seperti dirinya. Ya! Tapi apa Rahwana itu biang Dajjal?
***
Aku kelas empat SD dan adik baru kelas satu SD. Saat itu hari hujan,lampu mati sehingga TV tak bisa dinyalakan–– kami yang tak bisa main game. Aku ingat pada cerita Ayah tentang Dajjal yang bersarang di bawah bantal. Teringat akan momen ceritanya di tiga bulan lampau––pada saat yang juga malang seperti sekarang ini––, yang kemudian disusul dengan desas-desus munculnya setan pocong Bu Bariah, yang meninggal dalam kondisi hamil muda.
Aku membayangkan Dajjal seperti membayangkan pocong, yang berwarna kelam dan bersembunyi di bawah bantal,karenanya hanya seruas jari kelingking.Aku minta Ayah menggambarkannya di kertas dan bukan memperagakannya dengan empat jemari di dua telapak tangan. Lantas Ayah menggambar di buku tulis dan memberinya warna sehingga aku yakin akan keberadaannya.
Karenanya aku bertanya lagi: apa Dajjal itu hewan atau tumbuhan? Apa Dajjal itu jantan atau betina? Apa Dajjal itu virus atau parasit? Ayah tertawa. Ayah bilang, tidak ada Dajjal dan yang ada hanyalah Om Zal. Aku dan adik mengernyit. Om Zal itu adik ayah. Sudah tua tapi kesenangannya bermalasan, teler, dan hampir setiap hari minta duit sama Oma––Opa sudah meninggal––, dan marah bila tidak diberi duit.
Karenanya Oma menelepon Ayah, menelepon Tante Maryam dan Om Yusuf. Bila ditelepon begitu,begitu terdengar, Ibu selalu marah dan mencaci maki Om Zal. Ayah bilang, ia terpaksa memberikan sokongan karena ingin menyenangkan Ibu. "Itu bakti saya kepada Mama," katanya. "Tapi itu sama saja dengan membiasakan Zal tergantung padamu. Menggerogoti kita .…" kata Ibu.
Ayah bungkam––Oma masih menelepon dan minta sokongan. Apa mungkin Om Zal itu Dajjal? Aku berpikir: mungkin Dajjal bersarang di bawah bantal Om Zal,lalu masuk ke rongga perut lewat lubang hidung, kuping atau mulut.Bersarang dalam lambung, dan menyerap segala rokok,minuman, pil, dan entah apa saja yang dimakan oleh Om Zal.
Dan pada gilirannya, Om Zal itu sendiri sudah bukan lagi Om Zal, tapi sebuah Dajjal yang memakai tubuh Om Zal––setidaknya karena mata dan otaknya kering terhisap. Kalau begitu, ke mana Om Zal yang sejati? Apa yang terusir dari tubuhnya itu nyawa atau ruh? Apa hanya kesadaran dan harga diri yang menyebabkannya jadi orang tak malu hidup bermalasan dan bermanja––parasit yang merepotkan orang, seperti yang dibilang Ibu bila tahu Ayah menyokong Om Zul?
Dan karenanya, untuk bebas dari Dajjal, kita tidak boleh bermanja, tidak boleh merepotkan orang lain––tak boleh jadi parasit. Punya harga diri dan kemauan untuk hidup mandiri.Dengan senantiasa menjemur bantal,guling,kasur, dan selalu ganti sarung bantal dan guling dan seprei seminggu sekali — seperti yang selalu dikatakan ayah. OK! Tetapi kenapa Ayah tidak membebaskan Om Zal dari dominasi Dajjal?
Apa di dunia ini memang tak ada obat untuk membebaskan orang yang di- cengkeram dan dikuasai Dajjal? Bila begitu apa Dajjal itu asli jejadian yang tumbuh bersama evolusi planet Bumi atau justru datang dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya lain. Serdadu komando alien yang berusaha menguasai Bumi dengan menguasai dan menggerogoti tubuh manusia Bumi?
***
Apa mungkin Dajjal itu sabu-sabu, ekstasi, putaw, rhohipnol, pil koplo, ganja,bir,wiski, vodka, arak, dan segala entah apa lagi yang selalu dikonsumsi oleh Om Zul? Atau …
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Paris Van Java



IBLIS PARIS
Cerpen: Triyanto Triwikromo

Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu, sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini
Segalanya begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal. Aku, boneka kencana Raja Opium Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan. Aku tak mungkin mencium harum abu kekasih atau sekadar membayangkan mati perkasa dalam amuk api percintaan. Aku juga tak mungkin berjalan tertatih-tatih di belakang keranda dan mencoba menembakkan pistol di jidat sebelum kekasih lain mempertontonkan kesetiaan hanya dengan menangis sesenggukan. Sejak 1996 yang menyakitkan, Pangeran Kematian memang menyuruhku menghilang ke Prancis. Ia yakin benar Mong Thay Army, serdadu kepercayaannya, tak mungkin bisa melindungiku dari kekejaman para petinggi junta, sehingga memintaku menyingkir ke negeri yang tak terjangkau oleh bedil dan penjara Burma.
”Bukankah kau ingin sekali bertemu dengan Maria di Lourdes? Bukankah kau ingin mendapatkan tuah Bernadette Soubirous?”
Tak memilih tanah indah bagi para peziarah itu, sambil memanggul kekecewaan yang teramat sangat, aku terbang ke Lyon. Di kota penuh katedral itu, ia membelikan aku rumah kuno dan segera kusulap bangunan mirip kastil seram milik Pangeran Kelelawar itu menjadi hotel sederhana. Jika suatu saat tersesat di Jalan Saint Michel, percayalah, kau akan menemukan aku dan Anjeli, adik perempuanku, mengelola hotel untuk para turis miskin itu.
”Di negeri Napoleon, kau tak perlu berbisnis heroin lagi, Zita. Percayalah, sampai aku mati, hotel itu akan tetap berdiri.”
Tanpa ia berkata semacam itu, aku memang berniat membebaskan diri dari apa pun yang mengingatkan aku pada segala yang kulakukan bersama 25.000 serdadu di hutan perbatasan Thailand, Laos, dan Burma. Aku tak ingin lagi dikejar-kejar oleh para cecunguk sialan yang mau dibayar murah untuk memenggal kepalaku. Jika harus membela bangsa Shan, aku tak ingin lagi mengirimkan serbuk iblis ke berbagai penjuru dunia. Ya, ya, aku toh bisa menggunakan cara lain untuk menghabisi para serdadu bengis itu Kerling mata, jari lentik, dan gairah yang meletup-letup saat aku menari, kurasa cukup menjadi senjata.
Hanya, aku heran mengapa ia tak mengembalikan aku ke Dhaka. Ke kota kali pertama ia memungutku saat aku bermain-main dengan Anjeli di Sungai Buriganga setelah banjir muson reda. Aku masih ingat pada 1971—saat kotaku menjadi ibu kota Banglades—Khun Sa meminta ayahku, Ghuslan, agar mengurus bisnis heroin di perbatasan Thailand-Burma. Karena tak ingin berpisah dari keluarga, ayah mengajak ibu dan kedua anak perempuan bergabung.
”Masa depan kita bukan di negeri ini,” kata ayah kepada ibuku, Katra.

Aku yang waktu itu masih berusia tujuh tahun sama sekali tak mengerti maksud ayah. Yang kutahu setahun sebelum peristiwa itu ayah dan ibu tak pernah lagi mengajak aku dan Anjeli ke gereja, tak suka lagi mempercakapkan sayap malaikat, dan juga tak mengenakan kalung salib di leher.
”Cepat atau lambat, kita akan terusir,” kata ayah, ”Karena itu, ada baiknya kita terima saja tawaran Khun Sa. Percayalah, ini hanya sementara, Katra. Setelah punya cukup bekal, kita akan berimigrasi ke Prancis. Bukankah kau ingin hidup berlumur kasih Maria di Lourdes?”
Antara lupa dan ingat, setahuku ibu tak menjawab. Hanya, malam itu juga dijemput sebuah jip, kami kemudian meninggalkan Dhaka. Meninggalkan alunan musik Gombhira-Bhatiali-Bhawaiya dan Delta Gangga-Brahmaputra yang subur. Belakangan aku baru tahu, kami juga harus menghapus kenangan pada angin tropis dengan musim dingin yang sejuk pada Oktober-Maret dan musim panas Maret-Juni. Dan yang tak mungkin kulupakan tentu saja musim monsun yang hangat dan lembab serta Kota Chittagong yang memiliki pantai terpanjang di dunia. Andai saat itu boleh memilih, aku tentu tak ingin jauh dari Kuil Dakeshwari, Istana Bara Katra, Hoseni Dalan, dan Benteng Lal Bagh yang membuatku bangga sebagai putri Banglades.
Rupa-rupanya ayah tak menduga setelah malam itu kami hanya akan hidup di hutan bersama pasukan bangsa Shan. Akan tetapi, jangan membayangkan dikepung pepohonan kami tak mengenal dunia. Khun Sa tak membiarkan putri-putri indah seperti kami tak bisa menghitung jumlah bintang di langit. Dengan mengundang guru privat dari Inggris dan legiun asing dari Prancis, ia juga tak membuat kami asing dari peta, kata-kata, dan bahkan senjata dari berbagai bangsa. Dan yang tak terduga, para istri pangeran pendiam itu, mengajari kami menari, mengenal bahasa tubuh, erang dahsyat percumbuan, serta memahami keindahan melawan kekejaman para junta.
Karena itu, tak perlu heran pada usiaku yang kedua puluh, aku telah mahir membunuh apa pun yang berkelebat dengan pistol andalan. Juga tak perlu kaget pada usiaku yang kedua puluh lima, Khun Sa memintaku menjadi kekasih tersembunyi.
”Siapa pun tak akan pernah tahu bahwa kau telah menjadi pewaris tunggal kekuasaanku. Kelak junta boleh menghabisiku, tapi kau tak akan pernah tersentuh. Kelak aku mungkin akan pura-pura menyerah, tetapi kau akan menyelamatkan bangsa Shan dari penindasan,” desis Khun Sa sambil terus-menerus mencakar punggungku.
Ah, menjadi kekasih tersembunyi, sangat makan hati. Dengan cara apa pun, kau akan kesulitan mengekspresikan rasa cinta. Hanya memandang takjub keperkasaan kekasih pujaan di hadapan serdadu lain, kau akan kesulitan. Hanya mencuri-curi pandang saat pria yang seharusnya lebih pas jadi ayahku memberikan maklumat kepada pasukan, mata-mata lain akan memelototimu. Karena itu, aku hanya hidup dalam rahasia sedih sang kekasih. Hanya ketika ia mengajakku—juga secara sembunyi-sembunyi—ke negeri-negeri yang jauh aku bisa merebahkan tubuh di dadanya. Hanya ketika ia meninggalkan puluhan kekasih di Burma aku bisa mengukuhkan diriku sebagai sisihan.
”Pada akhirnya aku akan tua, Zita. Pada akhirnya hanya kau yang bisa meneruskan perjuangan bangsa Shan,” kata dia sesaat sebelum memintaku berimigrasi ke Prancis, ”Dan aku tak memintamu kembali ke Dhaka karena kau tak mungkin bisa memimpin pergerakan di negeri yang hanya memberimu keindahan...”
Keindahan? Ah, aku telah melupakan keindahan sejak hanya kukenal pertempuran dengan para polisi yang mengejar-ngejar kami dari hutan ke hutan. Aku telah melupakan keindahan sejak para junta memaksa kami untuk segera menyerah dan memaksa tinggal di Rangoon tanpa kebanggaan sebagai pejuang. Aku tak lagi mengenal keindahan sejak cintaku kepada sang Pangeran Kematian hanya bisa disembunyikan di rerimbun dahan. Keindahan, kau tahu, hanya muncul, sesaat ketika bulan seiris jeruk memancarkan sinar tepat di pucuk Katedral Saint Jean. Dan sayang, sebagai orang yang terpenjara oleh pekerjaan rutin sebagai pengelola hotel, sungguh tak mudah dan butuh perjuangan panjang agar sampai ke situs peribadatan tak jauh dari Fourviere itu. Paling tidak aku harus berjalan kaki dengan tertatih-tatih ke Stasiun Saxe Gambetta, berganti-ganti kereta bawah tanah yang disesaki para imigran, untuk pada akhirnya merangkak ke tebing yang nyaris tegak lurus dengan langit dengan funicular, dengan kereta yang lebih mirip sebagai ular melata menembus lorong-lorong gedung sunyi selalu kubayangkan penuh kelelawar itu.
Kau mungkin menyangka setelah riwayat Khun Sa habis, berakhir pula nasib hotel tua dan sepasang perempuan yang kesepian. Oo, justru kini kehidupan yang sebenarnya sedang dimulai. Tak terikat pada siapa pun, aku justru berani berbisnis serbuk iblis kembali. Tak mungkin menggerakkan perjuangan melawan kekejaman junta hanya dengan mengandalkan doa para biksu dan duit keropos dari tabungan para pejuang Shan. Aku juga mulai tak suka pada kelembekan Aung San Suu Kyi yang tidak segera habis-habisan menghajar para junta dengan bayonet atau sekadar cakar. Karena itu, ketika bercermin, aku kerap membayangkan diri sebagai serdadu lagi, dan mencoreng-coreng wajah dengan water colour warna hijau. Aku juga mulai berkhayal menganggap semua gedung kuno di Lyon sebagai pohon-pohon raksasa di perbatasan Thailand-Burma. Serba hitam, magis, dan penuh ular yang bisa memangsa musuh yang terjebak dan kehilangan cara untuk menemukan sinar matahari kembali.
Tentu aku masih sangat mencintai Khun Sa, meskipun kurir heroin keturunan Aljazair-Spanyol, Aljir Duarte, yang memang bermata nakal, mulai berani meremas pantat dan mengajakku mandi bersama dalam kucuran shower yang sering macet, atau memelukku dari belakang ketika aku sedang berdandan di depan cermin buram, di kamar pribadiku yang berdekatan dengan gudang.
Dan mencintai Khun Sa, kau tahu, haruslah selalu menganggap diri sebagai pisau atau pistol mematikan bagi para musuh almarhum. Karena itu, kepada siapa pun aku tak pernah bercerita mengenai burung-burung dan ratusan angsa Khun Sa yang ribut tak keruan setiap mendengar derap kaki kuda kami beradu dengan tanah berdebu atau saat melihat kami bercumbu di rerimbun pohon penuh benalu.
Juga kepada Duarte, aku selalu waspada dan tak pernah kukatakan mengapa aku tak pernah mau tinggal di Paris atau sekadar berdoa di Katedral Notre Dame dan menikmati panas matahari musim dingin dari Sungai Seine.
”Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu. Ketahuilah, Zita, sejak salah seorang kepercayaanku mengetahui aku mencintaimu, saat itu pula ia berniat membunuhmu. Kau dianggap akan melemahkan perjuangan. Karena itu, begitu tahu kau akan berimigrasi ke Prancis, saat itu pula ia mengirim pembunuhmu ke Prancis. Jadi, percayalah kepadaku, Zita, jangan pernah ke Paris. Dan jika aku sudah mati, jangan juga pernah bercinta dengan laki-laki dari kota penuh iblis itu.”
Dulu aku tertawa keras-keras saat Khun Sa mendesiskan kata-kata busuk itu ke telingaku. Dan kini aku juga tertawa terpingkal-pingkal ketika Duarte memamerkan rumah mungil di kawasan bekas biara di Jalan Notre Dame yang di foto terlihat seperti gang penuh reptil, kodok, pengemis, dan sepeda bobrok itu.
”Ayolah, Zita, aku akan mengubah segala yang tampak seperti neraka sebagai surga. Setiap hari akan kuajak kau bercinta dalam boat putih sebelum badai tiba,” dengus Duarte sambil menyeretku ke gudang penuh debu.

Hmm, pada mulanya aku memang agak tergoda untuk meninggalkan Lyon. Aku juga mulai berpikir untuk mengakhiri segala urusanku dengan bangsa Shan. Namun, selalu saja ketika dengus napas Duarte mulai memburu, aku selalu membayangkan lelaki kencana itu berubah menjadi iblis bersayap merah dengan moncong anjing yang melelehkan air liur bacin. Selalu saja aku tak sanggup memeluk atau sekadar mencium kening lelaki indah yang telah malih rupa jadi hewan berbulu runcing itu.
Kalau sudah begitu, Khun Sa akan muncul dari cermin dan membisikkan kata-kata aneh serupa mantra dari Negeri Kematian dan menyuruhku mengusir Duarte.
”Kau yakin, dia yang akan membunuhku?” desisku sambil berharap Khun Sa akan menggeleng.

Khun Sa bergeming. Ia tidak menggeleng, tetapi juga tidak mengangguk.
”Kau yakin, dia musuh terakhir yang harus kubunuh?” kataku sambil merogoh pistol yang selalu kusimpan di pinggang.
Dan karena dengan sangat cepat aku mengacungkan pistol ke kening Duarte, lelaki yang hendak mencumbuku dengan berahi yang meluap-luap itu kulihat menggigil ketakutan.
Menggigil ketakutan? Tidak! Tidak! Matakulah yang lamur. Dengan gerakan yang sangat cepat dan tak terduga, ia merebut pistol yang siap kuletuskan. Kini ganti Duartelah yang menusukkan ujung pistol itu ke perutku.
”Ya, sudah lama aku menguntitmu, Zita. Sudah lama aku akan membunuhmu. Tapi Khun Sa telah mati. Jenderal-jenderal lain juga sudah kabur ke negeri tetangga, apalagi yang akan kita bela?”
Tak kujawab pertanyaan Duarte. Kupejamkan mataku dan di layar serbahitam itu, kulihat Khun Sa bersama ratusan serdadu berkuda meletuskan seluruh senapan ke jantung Duarte yang tak terlindung oleh apa pun.
Dan karena peristiwa itu terjadi berulang-ulang—juga ketika Duarte serius meminangku—kini aku kian yakin, di Paris, aku tak akan pernah meninggalkan sepasang sandal, sehelai gaun, dan cincin pengantin.
Di Paris, kau tahu, hanya ada iblis yang tergesa-gesa mengetuk pintu dan menusukkan pistol di lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman.
Sudah mati jugakah Thian?
Paris September 2007- Sydney Januari 2008

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Coklat Valentine



COKELAT VALENTINE
Cerpen : Ni Komang Ariani

Sungai Barito sore hari, saat lanting-lanting berserakan di sepanjang sungai. Di sebuah rumah kayu yang berjubel di pinggir sungai. Bau sampah tumpukan enceng gondok,ranting, dahan kayu,dan serta bangkai pelbagai jenis binatang terasa akrab di hidung.Keriuhan yang selalu sama.
Aku tak dapat melihatmu.Tak dapat menyentuhmu. Aku hanya bisa mencium baumu. Mendengar napasmu.Menghitung detak jantungmu.Juga menikmati suara lembutmu. Suara yang memang diciptakan untukku. Suara merdu sekaligus tegas.Suara serak sekaligus ramah.
Tak ada yang pernah memberikan itu selain kamu. Aku memujamu. Memujamu sepenuh jiwaku. Mengapa engkau begitu baik lelakiku? Mengapa engkau datang untuk mendengarkan aku, saat semua orang abai? Apa yang kamu inginkan dari aku. Tubuh inikah, wajah inikah? Cantikkah aku, hingga mau merayu aku untuk mendapatkan tubuh ini? Aku tak percaya, aku telah tumbuh sejak lama.Selamanya laki-laki, bapak-bapak, anakanak hingga nenek-nenek abai padaku.
Tidak ada yang datang untuk mendengarkan aku. Mengapa kau lakukan? Apa maksud tersembunyi di belakang kepalamu. Adakah yang ingin engkau rebut dariku. Apakah itu? Gubuk darurat di sekitar rumah sesak inikah, atau handphone kecil di tanganku? Untuk itukah kau lakukan semua ini?
*** Padamu kulihat mata Ibu.Padamu kudengar suara Ibu. Bahkan tangantangan Ibu pun kau miliki. Siapakah engkau sesungguhnya? Matamu yang tak bergerak memberi nuansa teduh. Tak ada mata yang memerah atau membesar karena marah, seperti mata Ibu. Siapakah engkau perempuan sebatang kara? Mengapa engkau sendirian dalam rumah sesak ini. Ah, aku tidak peduli.
Keberadaanmu di rumah sesak ini membuatku bisa pulang. Kepadamu, aku sungguh merasa pulang.Kau rumah kecil yang hangat perempuanku. Aku tidak ingin pergi jauh-jauh dari rumah. Aku ingin pergi dan pulang ke rumah.Tetapi mengapa engkau selalu mempertanyakanku, mencurigai kedatanganku? Rugikah engkau bila aku datang karena aku menikmati rumah kecilmu yang hangat? Jangan perempuanku, aku tak dapat hidup tanpanya.Aku tak bisa meneruskan hidup tanpanya.Tidak bisa meneruskan detak di jantungku juga embus di napasku.
***
“Katakan sesungguhnya dari mana asalmu?”
“Aku ingin dilahirkan di negeri di mana semua mata seperti matamu!”
“Kau hendak menghinaku?”
“Tidak, sama sekali. Matamu adalah mata Ibu. Dunia amat indah bila semua orang memiliki mata ibu. Aku ingin berenang-renang dalam lautan mata Ibu yang menatapku!”
“Aku tak punya Ibu, juga tak punya Ayah. Aku lahir dari segumpal awan hitam, untuk tinggal di segumpal awan hitam lainnya.”
“Aku hanya ingin pulang, aku hanya ingin kepadamu!”
“Seriuslah sedikit. Kau bisa melihatku, bisa kau ceritakan bagaimana aku!”
“Kau perempuan cokelat dengan dua tangan. Alis tebal dan rambut panjang. Suaramu seindah embun, sentuhanmu selembut angin semilir. Kau adalah Ibu. Kau adalah pulang!”
“Kau menganggapku laksana Ibu?”
“Ya, aku ingin memelukmu, ingin memilikimu selamanya. Aku ingin memiliki pulang.”
“Kau telah punya rumah dan punya pergi.Kau bisa pulang kapan saja!”
“Aku memang punya rumah dan punya pergi, tapi aku tidak bisa pulang. Bolehkah aku mempunyai pulang darimu. Bolehkah aku membagi pulangmu!”
“Aku tak pernah punya pergi, jadi juga tak pernah punya pulang. Bagaimana membaginya denganmu. Aku hanya punya cerita kelam. Maukah kau berbagi cerita kelamku?”
“Cerita kelam apakah itu, ceritakanlah padaku, setelah itu hadiahi aku dengan pulang. Berjanjilah kau terima pemberian setimpal ini. Anugerahkanlah aku pelukan, dan kehangatan pulang sepanjang hidupku. Karena aku hanya perlu pulang.”
“Baiklah, bila itu yang kau inginkan.”
***
Namaku Val, lengkapnya Valentine. Nama yang amat indah untuk dua orang yang memadu kasih di sebuah taman cinta. Sepasang kekasih yang berjanji sehidup semati. Sepasang kekasih yang lari dari kemewahan kedua orangtua, demi cinta sejati. Barangkali mereka pengagum kisah cinta Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Jayaprana-Layonsari yang rela mengorbankan apa pun demi cinta sejati mereka.
Perpaduan kasih mereka melahirkan buah hati. Buah cinta yang diharapkan menyempurnakan ikrar bersama. Namun kelahiranku menjadi petaka. Ayah ibuku adalah sepasang pangeran dan putri. Ayah adalah laki-laki tampan, gagah dan rupawan.Ibu adalah perempuan jelita, dengan keindahan tiada dua.Keduanya berkulit putih bening, laksana titisan para raja zaman dulu.
Dari rahim perempuan rupawan itu, lahirlah aku. Perempuan cokelat dengan dua tangan, juga bermata buta ini. Kutuk dari manakah itu? Kemarahan pun meledak. Ayah sungguh kecewa dan menuduh perselingkuhan. Sementara ibu memandangku dengan tak rela. Tak sudi ia, rahimnya dilewati bayi jelata sepertiku. Lalu apa yang dapat kulakukan. Bagaimana aku tahu dari buah percintaan dua lain jenis yang tak berselingkuh itu lahir aku. Bagaimana aku bisa paham. Mungkin saja, nenek moyang kedua orangtuaku, entah garis ke berapa menyelipkan seorang perempuan cokelat sepertiku, yang suatu ketika muncul. Sungguh aku tidak tahu.
Aku telah terlahirkan dari sepasang yang tak berselingkuh itu.Kemarahan Ayah seperti gayung bersambut dengan ketidaksudian ibu. Mereka akhirnya bersepakat pada sesuatu yang amat aneh.Mereka bersepakat menganggap aku sebagai kecelakaan yang harus dilupakan. Aku akan dilupakan dan dianggap tak pernah terjadi. Mereka akan memulai hari baru, dengan memotong kehadiranku dari hidup mereka.
Mereka menghitung hari kapan percintaan dilakukan, dan terbangun hari itu sebagai hari yang sungguh-sungguh baru. Namaku pun telah diganti.Tak lagi Valentine. Tapi menjadi cokelat. Namun, ditulis dengan Chocolate. Sesuatu yang nikmat untuk dimakan. Aku boleh dipanggil Choco. Seorang tukang kebun dibeli untuk menjadi induk semangku. Disuruhnya aku dibawa jauh ke negeri seberang, di mana napas dan bau tak mungkin bertemu. Setelah beberapa bulan aku dilupakan.
Si tukang kebun hidup sebagai orang baru. Saat usiaku sepuluh tahun, si tukang kebun tenggelam terseret arus. Istrinya menyusul enam bulan kemudian, demam berdarah merenggutnya setelahsepekan didera panas dingin. Tertinggallah aku di gubuk ini, yang kian lama kian berdesakan, dengan keahlian hanya menganyam topi.
“Sudah…?”
“Aku pikir sudah.!”
“Kau masih ingat bukan dengan janjimu?”
“Kau masih inginkan itu?”
“Tentu saja. Tentu kau tepati bukan?”
“Apakah kau pun lahir dari cerita kelam, hingga menuntut pulang dariku!”
“Kau selalu bercuriga. Apakah cerita kelamku akan membuatmu berubah pikiran, tak lagi menepati janji?”
“Aku tidak habis mengerti, mengapa kau menginginkan perempuan cokelat ini? Aku hanya cokelat. Chocolate!”
“Apakah pikiranmu tak jauh dari cokelat dan putih. Mengapa putih bagimu selalu lebih baik dari cokelat. Tidakkah kau tahu seperti namamu, cokelat amat nikmat untuk dimakan. Amat lezat untuk dinikmati!”
“Aku tidak percaya padamu!”
“Kau boleh saja tidak percaya, tapi kau tepati janjimu kan?”
“Setelah kau ceritakan cerita kelammu!”
“Setelah itu kau akan berubah pikiran?”
“Aku akan menepati janji jika masih kau inginkan!”
“Aku boleh pulang kepadamu, Valentine,kepadamu Chocolate?”
“Tentu saja!”
***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS